BAB I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Latar
belakang penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas wajib yang
diberikan oleh dosen pembimbing study “ Fikih II “ guna mengefektifkan proses
belajar mengajar yang akan dilaksanakan nantinya.
Selanjutnya
makalah ini dibuat juga, untuk memberikan informasi baik bagi pembaca maupun
bagi pemakalah sendiri, juga menjadi sebuah tambahan pengetahuan yang lebih
dalam lagi mengenai wali dan saksi dalam nikah serta hal-hal yang berkaitan
dengannya,
B.
Tujuan
Semoga
dengan penyajian makalah ini, semua pihak dapat memperoleh informasi baru, dan
dapat memberikan pemahaman mengenai persoalan yang akan dibahas dalam makalah ini.
Dan pada akhirnya makalah ini dapat menjadi suatu hal yang berguna bagi setiap
orang yang membacanya.
BAB II
RUMUSAN MASALAH
1. Pentingnya
wali dan saksi dalam pernikahan.
2. Syarat-syarat
menjadi wali dan saksi dalam pernikahan.
3. Siapa
saja yang tidak diperbolehkan oleh syari’at Islam untuk menjadi wali dalam
pernikahan?
4. Bolehkah
seorang wanita menjadi saksi dalam pernikahan?
BAB III PEMBAHASAN
WALI DAN SAKSI DALAM PERNIKAHAN
A. PERWALIAN DALAM PERNIKAHAN
1. Pengertian
Wali dalam Pernikahan
Kata “wali” menurut bahasa berasal dari bahasa
Arab, yaitu al Wali dengan bentuk jamak Auliyaa yang berarti pecinta, saudara,
atau penolong. Sedangkan menurut istilah, kata “wali” mengandung pengertian
orang yang menurut hukum (agama, adat) diserahi untuk mengurus kewajiban anak
yatim, sebelum anak itu dewasa; pihak yang mewakilkan pengantin perempuan pada
waktu menikah (yaitu yang melakukan akad nikah dengan pengantin pria).[1] Wali dalam nikah adalah yang
padanya terletak sahnya akad nikah, maka tidak sah nikahnya tanpa adanya
(wali).[2]
Dari beberapa pengertian diatas dapat diambil
suatu pengertian bahwa wali dalam pernikahan adalah orang yang melakukan akad
nikah mewakili pihak mempelai wanita, karena wali merupakan rukun nikah, dan
akad nikah yang dilakukan tanpa wali dinyatakan batal.
2. Kedudukan Wali
sebagai salah satu Rukun Nikah
Wali adalah rukun dari beberapa rukun
pernikahan yang lima, dan tidak sah nikah tanpa wali laki-laki. Dalam KHI
(Kompilasi Hukum Islam) pasal 19 menyatakan wali nikah dalam perkawinan
merupakan rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak
untuk menikahkannya.
Namun para ulama berbeda pendapat mengenai
kedudukan wali dalam pernikahan. Berikut ini akan diuraikan beberapa pendapat
para ulama mengenai kedudukan wali dalam pernikahan, yaitu:
a. Jumhur ulama, Imam Syafi’I dan Imam Malik
Mereka berpendapat bahwa wali merupakan salah
satu rukun perkawinan dan tak ada perkawinan kalau tak ada wali. Oleh sebab itu
perkawinan yang dilakukan tanpa wali hukumnya tidak sah (batal).
Selain itu mereka berpendapat perkawinan itu
mempunyai beberapa tujuan, sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi oleh
perasaannya. Karena itu ia tidak pandai memilih , sehingga tidak dapat
memperoleh tujuan –tujuan utama dalam hal perkawinan ini. Hal ini mengakibatkan
ia tidak diperbolehkan mengurus langsung aqadnya tetapi hendaklah diserahkan
kepada walinya agar tujuan perkawinan ini benar-benar tercapai dengan sempurna.
b. Imam Hanafi dan Abu Yusuf (murid Imam
Hanafi)
Mereka berpendapat bahwa jika wanita itu telah
baligh dan berakal, maka ia mempunyai hak untuk mengakad nikahkan dirinya
sendiri tanpa wali. Selain itu Abu Hanifah melihat lagi bahwa wali bukanlah
syarat dalam akad nikah. Beliau menganalogikan dimana kalau wanita sudah
dewasa, berakal dan cerdas mereka bebas bertasarruf dalam hukum-hukum mu’amalat
menurut syara’, maka dalam akad nikah mereka lebih berhak lagi, karena nikah
menyangkut kepentingan mereka secara langsung. Khususnya kepada wanita (janda)
diberikan hak sepenuhnya mengenai urusan dirinya dan meniadakan campur tangan
orang lain dalam urusan pernikahannya.
Menurut beliau juga, walaupun wali bukan syarat
sah nikah, tetapi apabila wanita melaksanakan akad nikahnya dengan pria yang
tidak sekufu dengannnya, maka wali mempunyai hak I’tiradh (mencegah
perkawinan).
3. Syarat syarat
Wali
Wali dalam pernikahan diperlukan dan tidak sah
suatu pernikahan yang dilakukan tanpa adanya wali. Oleh karena itu maka seorang
wali haruslah memenuhi syarat-syarat sebagai wali. Syarat-syarat tersebut
adalah :
1. Islam ( orang kafir tidak sah menjadi wali)
2. Baligh (anak-anak tidak sah menjadi wali)
3. Berakal (orang gila tidak sah menjadi wali)
4. Laki-laki (perempuan tidak sah menjadi wali)
Seorang wanita tidak boleh menjadi wali untuk
wanita lain ataupun menikahkan dirinya sendiri. Apabila terjadi perkawinan yang
diwalikan oleh wanita sendiri, maka pernikahannya tidak sah. Hal ini sesuai
dengan Hadits Rasulullah SAW:
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ
قاَلَ: قاَلَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لاَ تُزَوِّجُ الْمَرْأَة
وَلاَ تُزَوِّجُ نَفْسَهَا. رَوَاهُ
ابْنُ ماَجَةَ وَ دَارُ قُطْنِي
Artinya: “Dari Abu Hurairah ra, dia berkata:
Rasulullah SAW bersabda “wanita tidak boleh mengawinkan wanita dan wanita tidak
boleh mengawinkan dirinya”(HR. Ibnu Majah dan Daruquthni ).
5. Adil (orang fasik tidak sah menjadi wali)
Telah dikemukakan wali itu diisyaratkan adil,
maksudnya adalah tidak bermaksiat, tidak fasik, orang baik-baik, orang shaleh,
orang yang tidak membiasakan diri berbuat munkar.[3] Ada pendapat yang mengatakan
bahwa adil diartikan dengan cerdas. Adapun yang dimaksud dengan cerdas disini
adalah dapat atau mampu menggunakan akal pikirannya dengan sebaik-baiknya atau
seadil-adilnya. Hal ini sesuai dengan sabda Nabi SAW:
لاَ نِكاَحَ اِلاَّ بِوَلِيٍّ وَ شَاهِدَيْ
عَدْلٍ. رَوَاهُ اَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ
Artinya: “Nabi SAW bersabda: “Tidak sah
pernikahan kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil”(HR.Ahmad Ibn
Hanbal).
6. Tidak sedang ihram haji atau umrah.
Sayyid Sabiq dalam bukunya Fiqih Sunnah
mengemukakan beberapa persyaratan wali nikah sebagai berikut : Syarat-syarat
wali ialah: merdeka, berakal sehat dan dewasa. Budak, orang gila dan anak kecil
tidak dapat menjadi wali, karena orang-orang tersebut tidak berhak mewalikan
dirinya sendiri apalagi terhadap orang lain. Syarat kempat untuk menjadi wali
ialah beragama Islam, jika yang dijadikan wali tersebut orang Islam pula sebab
yang bukan Islam tidak boleh menjadi walinya orang Islam. [4]
4. Macam Macam
Wali
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam,
yaitu:
a. Wali Nasab
Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri dari
keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab urutannya
adalah sebagai berikut:
- Bapak, kakek (bapak dari bapak) dan seterusnya ke atas
- Saudara laki-laki kandung (seibu sebapak)
- Saudara laki-laki sebapak
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki kandung
- Anak laki-laki dari saudara laki-laki sebapak
- Paman (saudara dari bapak) kandung
- Paman (saudara dari bapak) sebapak
- Anak laki-laki paman kandung
- Anak laki-laki paman sebapak.[5]
Urutan diatas harus dilaksanakan secara tertib.
b. Wali Hakim
Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim
dapat menggantikan wali nasab apabila:
Calon mempelai wanita tidak mempunyai wali
nasab sama sekali.
- Walinya mafqud, artinya tidak tentu keberadaannya.
- Wali sendiri yang akan menjadi mempelai pria, sedang wali yang sederajat dengan dia tidak ada.
- Wali berada ditempat yang jaraknya sejauh masaful qasri (sejauh perjalanan yang membolehkan shalat qashar) yaitu 92,5 km.
- Wali berada dalam penjara atau tahanan yang tidak boleh dijumpai.
- Wali sedang melakukan ibadah haji atau umroh.
- Anak Zina (dia hanya bernasab dengan ibunya).
- Walinya gila atau fasik.
Sesuai dengan Peraturan Menteri Agama Nomor 2
tahun 1987, yang ditunjuk oleh Menteri Agama sebagai wali hakim adalah KUA
Kecamatan.
c. Wali Muhakkam
Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat
oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
mereka. Orang yang bisa diangkat sebagai wali muhakkam adalah orang lain yang
terpandang, disegani, luas ilmu fiqihnya terutama tentang munakahat,
berpandangan luas, adil, islam dan laki-laki.[6]
B. PERSAKSIAN DALAM AKAD NIKAH
1. Pengertian
Saksi dalam Akad Nikah
Saksi nikah adalah orang yang menyaksikan
secara langsung akad pernikahan, yang berfungsi memberitahukan kepada
masyarakat luas perihal pernikahan tersebut agar tidak timbul kesalahpahaman.
Masalah saksi pernikahan dalam al-Qur’an tidak tertera secara eksplisit, namun
saksi untuk masalah lain seperti dalam masalah pidana muamalah atau masalah
cerai atau rujuk sangat jelas diutarakan.
2. Kedudukan
Saksi
KHI menyatakan dalam pasal 24 ayat 1, saksi
dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah.
Imam Abu Hanifah, Imam Syafii, dan Imam Malik
bersepakat bahwa saksi termasuk syarat dari beberapa syarat sahnya nikah.
Jumhur ulama berpendapat bahwa pernikahan tidak dilakukan kecuali dengan jelas
dalam pengucapan ijab dan qabul, dan tidak boleh dilaksanakan kecuali dengan
saksi-saksi hadir langsung dalam pernikahan agar mengumumkan atau
memberitahukan kepada orang-orang.
Dalam KHI pasal 26, saksi harus hadir dan
menyaksikan secara langsung akad nikah serta menandatangani Akta Nikah pada
waktu dan di tempat akad nikah dilangsungkan.
3. Syarat syarat
Saksi
Dalam KHI pasal 25, yang dapat ditunjuk menjadi
saksi dalam akad nikah ialah seorang laki-laki muslim, adil, aqil baligh, tidak
terganggu ingatan dan tidak tuna rungu atau tuli.
Adapun berikut adalah beberapa syarat
yang harus ada pada dua orang saksi, antara lain:
- Islam
- Baligh
- Berakal
- Laki-laki
- Adil.
- Tidak tuna rungu atau tuli[7]
Disini para ulama berbeda pendapat mengenai
syarat-syarat dua orang saksi, dari kalangan jumhur seperti syafi’iyah dan
hanabilah mensyaratkan dalam kesaksian adalah dua orang laki-laki, berdasarkan
hadis Nabi saw, yang artinya: tidak diperbolehkan kesaksian seorang wanita
dalam hukuman, pernikahan dan perceraian.
Tetapi Hanafiyah tidak mensyaratkan hal itu,
dan berpendapat bahwa saksi adalah dua orang laki-laki, atau dengan satu orang
laki-laki dan dua orang wanita, berdasarkan surat al Baqarah ayat 282:
وَاسْتَشْهِدُوْا شَهِيْدَيْنِ مِنْ رِّجاَلِكُمْ
فَإِنْ لَّمْ يَكُوْناَ رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتاَنِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ
مِنَ الشُّهَدَاءِ. البقرة
282
Artinya: “Persaksian dengan dua orang saksi
dari kaum lelaki di antaramu, jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh)
seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai.”
Kemudian Imam Hanafi berpendapat bahwa jika
pernikahan dihadiri oleh dua saksi yang fasik tidak apa-apa karena maksud saksi
di sini adalah untuk pengumuman. Namun Imam Syafi’i mempunyai pendapat bahwa
saksi mengandung dua arti, yaitu pengumuman dan penerimaan, jadi disyaratkan
saksi yang adil.
BAB IV KESIMPULAN
Wali dalam pernikahan secara umum ada 3 macam,
yaitu:
a.Wali nasab adalah orang-orang yang terdiri
dari keluarga calon mempelai wanita dan berhak menjadi wali. Wali nasab
urutannya adalah sebagai berikut:
b.Wali hakim adalah orang yang diangkat oleh
pemerintah untuk bertindak sebagai wali dalam suatu pernikahan. Wali hakim
dapat menggantikan wali nasab apabila calon mempelai wanita tidak mempunyai
wali nasab sama sekali.
c.Wali muhakkam adalah seseorang yang diangkat
oleh kedua calon suami-istri untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah
mereka.
Adapun syarat pada dua orang saksi, antara
lain: Islam, baligh, berakal, laki-laki, adil, dan tidak tuna rungu atau tuli.
BAB V DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989
Al Jaziri Abdurrahman, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib
Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4
Daradjat Zakiah, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf, 1995, jilid. 2
Sabiq Sayyid, Fiqhus sunnah, Beirut : Dar al
Fikr, 1968, Juz VI
M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut
Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996
Ramulyo M. Idris, Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2
Ghazaly Abd. Rahman, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Kencana, 2006
[1] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1989, hal. 1007
[2] Abdurrahman Al Jaziri, Al- Fiqh ‘ala Mazaahib
Al- Arba’ah, Beirut : Daar Al- Fikr, Juz 4, hal. 29
[3] Zakiah Daradjat, Ilmu Fiqih, Yogyakarta: Dana
Bakti Wakaf, 1995, jilid. 2, hal.82
[4] Sayyid Sabiq, Fiqhus sunnah, Beirut : Dar al
Fikr, 1968, Juz VI, hal.261
[5] M. Yunus, Hukum Perkawinan dalam Islam menurut
Empat Mazhab, Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1996, hal. 55
[6] M. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam,
Jakarta: Bumi Aksara,1999, cet. Ke-2, hal. 25
[7] Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Jakarta:
Kencana, 2006, hal. 64
Tidak ada komentar:
Posting Komentar