MENGATASI KESULITAN BELAJAR
MELALUI KLINIK PEMBELAJARAN
MAKALAH
(Disampaikan pada
Workshop Evaluasi dan Pengembangan Teaching Klinik
bagi dosen Fakultas
Ekonomi Universitas Negeri Padang,
Pada tanggal, 21 sd.
26 Januari 2008)
Oleh:
Suwatno, Dr, M.Si.
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS NEGERI
PADANG
PADANG 2008
KESULITAN BELAJAR
SISWA DAN BIMBINGAN BELAJAR MELALUI KLINIK PEMBELAJARAN
Oleh : Suwatno, Dr.,
M.Si[1]
A. Latar Belakang
Dunia pendidikan
mengartikan diagnosis kesulitan belajar sebagai segala usaha yang dilakukan
untuk memahami dan menetapkan jenis dan sifat kesulitan belajar. Juga
mempelajari faktor-faktor yang menyebabkan kesulitan belajar serta cara
menetapkan dan kemungkinan mengatasinya, baik secara kuratif (penyembuhan)
maupun secara preventif (pencegahan) berdasarkan data dan informasi yang
seobyektif mungkin.
Dengan demikian,
semua kegiatan yang dilakukan oleh guru untuk menemukan kesulitan belajar
termasuk kegiatan diagnosa. Perlunya diadakan diagnosis belajar karena berbagai
hal. Pertama, setiap siswa hendaknya mendapat kesempatan dan pelayanan untuk
berkembang secara maksimal, kedua; adanya perbedaan kemampuan, kecerdasan,
bakat, minat dan latar belakang lingkungan masing-masing siswa. Ketiga, sistem
pengajaran di sekolah seharusnya memberi kesempatan pada siswa untuk maju
sesuai dengan kemampuannya. Dan, keempat, untuk menghadapi permasalahan yang
dihadapi oleh siswa, hendaknya guru beserta BP lebih intensif dalam menangani
siswa dengan menambah pengetahuan, sikap yang terbuka dan mengasah ketrampilan
dalam mengidentifikasi kesulitan belajar siswa.
Berkait dengan
kegiatan diagnosis, secara garis besar dapat diklasifikasikan ragam diagnosis
ada dua macam, yaitu diagnosis untuk mengerti masalah dan diagnosis yang
mengklasifikasi masalah. Diagnosa untuk mengerti masalah merupakan usaha untuk
dapat lebih banyak mengerti masalah secara menyeluruh. Sedangkan diagnosis yang
mengklasifikasi masalahmerupakan pengelompokan masalah sesuai ragam dan
sifatnya. Ada masalah yang digolongkan kedalam masalah yang bersifat
vokasional, pendidikan, keuangan, kesehatan, keluarga dan kepribadian.
Kesulitan belajar merupakan problem yang nyaris dialami oleh semua siswa.
Kesulitan belajar dapat diartikan suatu kondisi dalam suatu proses belajar yang
ditandai adanya hambatan-hambatan tertentu untuk menggapai hasil belajar.
B. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah :
a. Mengidintifikasi
berbagai permasalahan kesulitan pembelajaran.
b. Mengkaji
berbagai persoalan tentang permasalahan belajar.
c. Alternatif
mengatasi permasalahan pembelajaran.
C. Lingkup Pembahasan
Ruang lingkup
pembahasan dalam makalah ini difokuskan pada kesulitan belajar, bimbingan
belajar, model pembelajaran yang bisa diaterapkan dan bagaimana mengatasi
masalah kesulitan belajar.
D. Kajian Teori
a. Kesulitan Belajar
Dalam
kegiatan pembelajaran di sekolah, kita dihadapkan dengan sejumlah
karakterisktik siswa yang beraneka ragam. Ada siswa yang dapat menempuh
kegiatan belajarnya secara lancar dan berhasil tanpa mengalami kesulitan, namun
di sisi lain tidak sedikit pula siswa yang justru dalam belajarnya mengalami
berbagai kesulitan. Kesulitan belajar siswa ditunjukkan oleh adanya
hambatan-hambatan tertentu untuk mencapai hasil belajar, dan dapat bersifat
psikologis, sosiologis, maupun fisiologis, sehingga pada akhirnya dapat
menyebabkan prestasi belajar yang dicapainya berada di bawah semestinya.
Kesulitan
belajar siswa mencakup pengetian yang luas, diantaranya : (a) learning
disorder; (b) learning disfunction; (c) underachiever; (d)
slow learner, dan (e) learning diasbilities. Di bawah ini akan
diuraikan dari masing-masing pengertian tersebut.
1.
Learning Disorder atau kekacauan belajar adalah
keadaan dimana proses belajar seseorang terganggu karena timbulnya respons yang
bertentangan. Pada dasarnya, yang mengalami kekacauan belajar, potensi dasarnya
tidak dirugikan, akan tetapi belajarnya terganggu atau terhambat oleh adanya
respons-respons yang bertentangan, sehingga hasil belajar yang dicapainya lebih
rendah dari potensi yang dimilikinya. Contoh : siswa yang sudah terbiasa dengan
olah raga keras seperti karate, tinju dan sejenisnya, mungkin akan mengalami
kesulitan dalam belajar menari yang menuntut gerakan lemah-gemulai.
2.
Learning Disfunction merupakan gejala dimana
proses belajar yang dilakukan siswa tidak berfungsi dengan baik, meskipun
sebenarnya siswa tersebut tidak menunjukkan adanya subnormalitas mental,
gangguan alat dria, atau gangguan psikologis lainnya. Contoh : siswa yang yang
memiliki postur tubuh yang tinggi atletis dan sangat cocok menjadi atlet bola
volley, namun karena tidak pernah dilatih bermain bola volley, maka dia tidak
dapat menguasai permainan volley dengan baik.
3.
Under Achiever mengacu kepada siswa yang
sesungguhnya memiliki tingkat potensi intelektual yang tergolong di atas
normal, tetapi prestasi belajarnya tergolong rendah. Contoh : siswa yang telah
dites kecerdasannya dan menunjukkan tingkat kecerdasan tergolong sangat unggul
(IQ = 130 – 140), namun prestasi belajarnya biasa-biasa saja atau malah sangat
rendah.
4.
Slow Learner atau lambat belajar adalah siswa
yang lambat dalam proses belajar, sehingga ia membutuhkan waktu yang lebih lama
dibandingkan sekelompok siswa lain yang memiliki taraf potensi intelektual yang
sama.
5.
Learning Disabilities atau ketidakmampuan belajar
mengacu pada gejala dimana siswa tidak mampu belajar atau menghindari belajar,
sehingga hasil belajar di bawah potensi intelektualnya.
Bila
diamati, ada sejumlah siswa yang mendapat kesulitan dalam mencapai
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
hasil belajar secara tuntas dengan variasi dua kelompok besar. Kelompok pertama merupakan sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan, akan tetapi sudah hampir mencapainya. Siswa tersebut mendapat kesulitan dalam menetapkan penguasaan bagian-bagian yang sulit dari seluruh bahan yang harus dipelajari.
Kelompok
yang lain, adalah sekelompok siswa yang belum mencapai tingkat ketuntasan yang
diharapkan karena ada konsep dasar yang belum dikuasai. Bisa pula ketuntasan
belajar tak bisa dicapai karena proses belajar yang sudah ditempuh tidak sesuai
dengan karakteristik murid yang bersangkutan.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Jenis dan tingkat kesulitan yang dialami oleh siswa tidak sama karena secara konseptual berbeda dalam memahami bahan yang dipelajari secara menyeluruh. Perbedaan tingkat kesulitan ini bisa disebabkan tingkat pengusaan bahan sangat rendah, konsep dasar tidak dikuasai, bahkan tidak hanya bagian yang sulit tidak dipahami, mungkin juga bagian yang sedang dan mudah tidak dapat dukuasai dengan baik.
Siswa
yang mengalami kesulitan belajar seperti tergolong dalam pengertian di atas
akan tampak dari berbagai gejala yang dimanifestasikan dalam perilakunya, baik
aspek psikomotorik, kognitif, konatif maupun afektif . Beberapa perilaku yang
merupakan manifestasi gejala kesulitan belajar, antara lain :
1.
Menunjukkan hasil belajar yang rendah di bawah
rata-rata nilai yang dicapai oleh kelompoknya atau di bawah potensi yang
dimilikinya.
2.
Hasil yang dicapai tidak seimbang dengan usaha yang
telah dilakukan. Mungkin ada siswa yang sudah berusaha giat belajar, tapi nilai
yang diperolehnya selalu rendah
3.
Lambat dalam melakukan tugas-tugas kegiatan belajarnya
dan selalu tertinggal dari kawan-kawannya dari waktu yang disediakan.
4.
Menunjukkan sikap-sikap yang tidak wajar, seperti: acuh
tak acuh, menentang, berpura-pura, dusta dan sebagainya.
5.
Menunjukkan perilaku yang berkelainan, seperti
membolos, datang terlambat, tidak mengerjakan pekerjaan rumah, mengganggu di
dalam atau pun di luar kelas, tidak mau mencatat pelajaran, tidak teratur dalam
kegiatan belajar, dan sebagainya.
6.
Menunjukkan gejala emosional yang kurang wajar, seperti
: pemurung, mudah tersinggung, pemarah, tidak atau kurang gembira dalam
menghadapi situasi tertentu. Misalnya dalam menghadapi nilai rendah, tidak
menunjukkan perasaan sedih atau menyesal, dan sebagainya.
Sementara
itu, Burton (Abin Syamsuddin. 2003) mengidentifikasi siswa yang diduga
mengalami kesulitan belajar, yang ditunjukkan oleh adanya kegagalan siswa dalam
mencapai tujuan-tujuan belajar. Menurut dia bahwa siswa dikatakan gagal dalam
belajar apabila :
1.
Dalam batas waktu tertentu yang bersangkutan tidak
mencapai ukuran tingkat keberhasilan atau tingkat penguasaan materi (mastery
level) minimal dalam pelajaran tertentu yang telah ditetapkan oleh guru (criterion
reference).
2.
Tidak dapat mengerjakan atau mencapai prestasi
semestinya, dilihat berdasarkan ukuran tingkat kemampuan, bakat, atau
kecerdasan yang dimilikinya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam under
achiever.
3.
Tidak berhasil tingkat penguasaan materi (mastery
level) yang diperlukan sebagai prasyarat bagi kelanjutan tingkat pelajaran
berikutnya. Siswa ini dapat digolongkan ke dalam slow learner atau belum
matang (immature), sehingga harus menjadi pengulang (repeater)
Untuk
dapat menetapkan gejala kesulitan belajar dan menandai siswa yang mengalami
kesulitan belajar, maka diperlukan kriteria sebagai batas atau patokan,
sehingga dengan kriteria ini dapat ditetapkan batas dimana siswa dapat
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Terdapat empat ukuran dapat
menentukan kegagalan atau kemajuan belajar siswa : (1) tujuan pendidikan; (2)
kedudukan dalam kelompok; (3) tingkat pencapaian hasil belajar dibandinngkan
dengan potensi; dan (4) kepribadian.
1. Tujuan pendidikan
Dalam
keseluruhan sistem pendidikan, tujuan pendidikan merupakan salah satu komponen
pendidikan yang penting, karena akan memberikan arah proses kegiatan
pendidikan. Segenap kegiatan pendidikan atau kegiatan pembelajaran diarahkan
guna mencapai tujuan pembelajaran. Siswa yang dapat mencapai target
tujuan-tujuan tersebut dapat dianggap sebagai siswa yang berhasil. Sedangkan,
apabila siswa tidak mampu mencapai tujuan-tujuan tersebut dapat dikatakan
mengalami kesulitan belajar. Untuk menandai mereka yang mendapat hambatan
pencapaian tujuan pembelajaran, maka sebelum proses belajar dimulai, tujuan
harus dirumuskan secara jelas dan operasional. Selanjutnya, hasil belajar yang
dicapai dijadikan sebagai tingkat pencapaian tujuan tersebut. Secara statistik,
berdasarkan distribusi normal, seseorang dikatakan berhasil jika siswa telah
dapat menguasai sekurang-kurangnya 60% dari seluruh tujuan yang harus dicapai.
Namun jika menggunakan konsep pembelajaran tuntas (mastery learning)
dengan menggunakan penilaian acuan patokan, seseorang dikatakan telah berhasil
dalam belajar apabila telah menguasai standar minimal ketuntasan yang telah
ditentukan sebelumnya atau sekarang lazim disebut Kriteria Ketuntasan Minimal
(KKM). Sebaliknya, jika penguasaan ketuntasan di bawah kriteria minimal maka
siswa tersebut dikatakan mengalami kegagalan dalam belajar. Teknik yang dapat
digunakan ialah dengan cara menganalisis prestasi belajar dalam bentuk nilai
hasil belajar.
2. Kedudukan dalam Kelompok
Kedudukan
seorang siswa dalam kelompoknya akan menjadi ukuran dalam pencapaian hasil
belajarnya. Siswa dikatakan mengalami kesulitan belajar, apabila memperoleh
prestasi belajar di bawah prestasi rata-rata kelompok secara keseluruhan.
Misalnya, rata-rata prestasi belajar kelompok 8, siswa yang mendapat nilai di
bawah angka 8, diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Dengan demikian, nilai
yang dicapai seorang akan memberikan arti yang lebih jelas setelah dibandingkan
dengan prestasi yang lain dalam kelompoknya. Dengan norma ini, guru akan dapat
menandai siswa-siswa yang diperkirakan mendapat kesulitan belajar, yaitu siswa
yang mendapat prestasi di bawah prestasi kelompok secara keseluruhan.
Secara
statistik, mereka yang diperkirakan mengalami kesulitan adalah mereka yang
menduduki 25 % di bawah urutan kelompok, yang biasa disebut dengan lower
group. Dengan teknik ini, kita mengurutkan siswa berdasarkan nilai nilai
yang dicapainya. dari yang paling tinggi hingga yang paling rendah, sehingga
siswa mendapat nomor urut prestasi (ranking). Mereka yang menduduki posisi 25 %
di bawah diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Teknik lain ialah dengan
membandingkan prestasi belajar setiap siswa dengan prestasi rata-rata kelompok.
Siswa yang mendapat prestasi di bawah rata – rata kelompok diperkirakan pula
mengalami kesulitan belajar.
3. Perbandingan antara potensi dan prestasi
Prestasi
belajar yang dicapai seorang siswa akan tergantung dari tingkat potensinya,
baik yang berupa kecerdasan maupun bakat. Siswa yang berpotensi tinggi
cenderung dan seyogyanya dapat memperoleh prestasi belajar yang tinggi pula.
Sebaliknya, siswa yang memiliki potensi yang rendah cenderung untuk memperoleh
prestasi belajar yang rendah pula. Dengan membandingkan antara potensi dengan
prestasi belajar yang dicapainya kita dapat memperkirakan sampai sejauhmana
dapat merealisasikan potensi yang dimikinya. Siswa dikatakan mengalami
kesulitan belajar, apabila prestasi yang dicapainya tidak sesuai dengan potensi
yang dimilikinya. Misalkan, seorang siswa setelah mengikuti pemeriksaan
psikologis diketahui memiliki tingkat kecerdasan (IQ) sebesar 120, termasuk
kategori cerdas dalam skala Simon & Binnet. Namun ternyata hasil belajarnya
hanya mendapat nilai angka 6, yang seharusnya dengan tingkat kecerdasan yang
dimikinya dia paling tidak dia bisa memperoleh angka 8. Contoh di atas
menggambarkan adanya gejala kesulitan belajar, yang biasa disebut dengan
istilah underachiever.
4. Kepribadian
Hasil
belajar yang dicapai oleh seseorang akan tercerminkan dalam seluruh
kepribadiannya. Setiap proses belajar akan menghasilkan perubahan-perubahan
dalam aspek kepribadian. Siswa yang berhasil dalam belajar akan menunjukkan
pola-pola kepribadian tertentu, sesuai dengan tujuan yang tujuan pembelajaran
yang telah ditetapkan. Siswa diakatan mengalami kesulitan belajar, apabila
menunjukkan pola-pola perilaku atau kepribadian yang menyimpang dari seharusnya,
seperti : acuh tak acuh, melalaikan tugas, sering membolos, menentang,
isolated, motivasi lemah, emosi yang tidak seimbang dan sebagainya.
b. Diagnostik mengatasi kesulitan belajar
Belajar
pada dasarnya merupakan proses usaha aktif seseorang untuk memperoleh sesuatu,
sehingga terbentuk perilaku baru menuju arah yang lebih baik. Kenyataannya,
para pelajar seringkali tidak mampu mencapai tujuan belajarnya atau tidak
memperoleh perubahan tingkah laku sebagai mana yang diharapkan. Hal itu
menunjukkan bahwa siswa mengalami kesulitan belajar yang merupakan hambatan
dalam mencapai hasil belajar.
Sementara
itu, setiap siswa dalam mencapai sukses belajar, mempunyai kemampuan yang
berbeda-beda. Ada siswa yang dapat mencapainya tanpa kesulitan, akan tetapi
banyak pula siswa mengalami kesulitan, sehingga menimbulkan masalah bagi
perkembangan pribadinya.
Menghadapi
masalah itu, ada kecendrungan tidak semua siswa mampu memecahkannya sendiri.
Seseorang mungkin tidak mengetahui cara yang baik untuk memecahkan masalah
sendiri. Ia tidak tahu apa sebenarnya masalah yang dihadapi. Ada pula seseorang
yang tampak seolah tidak mempunyai masalah, padahal masalah yang dihadapinya
cukup berat.
Atas
kenyataan itu, semestinya sekolah harus berperan turut membantu memecahkan
masalah yang dihadapi siswa. Seperti diketahui, sekolah sebagai lembaga
pendidikan formal sekurang-kurangnya memiliki 3 fungsi utama. Pertama fungsi
pengajaran, yakni membantu siswa dalam memperoleh kecakapan bidang pengetahuan
dan keterampilan. Kedua, fungsi administrasi, dan ketiga fungsi pelayanan
siswa, yaitu memberikan bantuan khusus kepada siswa untuk memperoleh pemahaman
diri, pengarahan diri dan integrasi sosial yang lebih baik, sehingga dapat
menyesuaikan diri baik dengan dirinya maupun dengan lingkungannya.
Setiap
fungsi pendidikan itu, pada dasarnya bertanggung jawab terhadap proses
pendidikan pada umumnya. Termasuk seorang guru yang berdiri di depan kelas,
bertanggung jawab pula atau melekat padanya fungsi administratif dan fungsi
pelayanan siswa. Hanya memang dalam pendidikan, pada dasarnya sulit memisahkan
secara tegas fungsi yang satu dengan fungsi yang lainnya, meskipun pada setiap
fungsi tersebut mempunyai penanggung jawab masing-masing. Dalam hal ini, guru
atau pembimbing dapat membawa setiap siswa kearah perkembangan individu
seoptimal mungkin dalam hubungannya dengan kehidupan sosial serta tanggung
jawab moral. Salah satu kegiatan yang harus dilaksanakan oleh guru dalam
melaksanakan tugas dan peranannya ialah kegiatan evaluasi. Dilihat dari jenisnya
evaluasi ada empat, yaitu sumatif, formatif, penempatan, dan diagnostik.
1. Diagnosis
Diagnosis
merupakan upaya untuk menemukan faktor-faktor penyebab atau yang
melatarbelakangi timbulnya masalah siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar
faktor-faktor yang penyebab kegagalan belajar siswa, bisa dilihat dari segi
input, proses, ataupun out put belajarnya. W.H. Burton membagi ke dalam dua
bagian faktor – faktor yang mungkin dapat menimbulkan kesulitan atau kegagalan
belajar siswa, yaitu : (a) faktor internal; faktor yang besumber dari dalam
diri siswa itu sendiri, seperti : kondisi jasmani dan kesehatan, kecerdasan,
bakat, kepribadian, emosi, sikap serta kondisi-kondisi psikis lainnya; dan (b)
faktor eksternal, seperti : lingkungan rumah, lingkungan sekolah termasuk
didalamnya faktor guru dan lingkungan sosial dan sejenisnya.
2. Prognosis
Langkah
ini untuk memperkirakan apakah masalah yang dialami siswa masih mungkin untuk
diatasi serta menentukan berbagai alternatif pemecahannya, Hal ini dilakukan
dengan cara mengintegrasikan dan menginterpretasikan hasil-hasil langkah kedua
dan ketiga. Proses mengambil keputusan pada tahap ini seyogyanya terlebih
dahulu dilaksanakan konferensi kasus, dengan melibatkan pihak-pihak yang
kompeten untuk diminta bekerja sama menangani kasus - kasus yang dihadapi.
3. Tes diagnostik
Pada
konteks ini, penulis akan mencoba menyoroti tes diagnostik kesulitan belajar
yang kurang sekali diperhatikan sekolah. Lewat tes itu akan dapat diketahui
letak kelemahan seorang siswa. Jika kelemahan sudah ditemukan, maka guru atau
pembimbing sebaiknya mengetahui hal-hal apa saja yang harus dilakukan guna
menolong siswa tersebut.
Tes
dignostik kesulitan belajar sendiri dilakukan melalui pengujian dan studi
bersama terhadap gejala dan fakta tentang sesuatu hal, untuk menemukan
karakteristik atau kesalahn-kesalahan yang esensial. Tes dignostik kesulitan
belajar juga tidak hanya menyangkut soal aspek belajar dalam arti sempit yakni
masalah penguasaan materi pelajaran semata, melainkan melibatkan seluruh aspek
pribadi yang menyangkut perilaku siswa.
Tujuan
tes diagnostik untuk menemukan sumber kesulitan belajar dan merumuskan rencana
tindakan remidial. Dengan demikian tes diagnostik sangat penting dalam rangka
membantu siswa yang mengalami kesulitan belajar dan dapat diatasi dengan segera
apabila guru atau pembinbing peka terhadap siswa tersebut. Guru atau pembimbing
harus mau meluangkan waktu guna memerhatikan keadaan siswa bila timbul
gejala-gejala kesulitan belajar.
Agar
memudahkan pelaksanaan tes diagnostik, maka guru perlu mengumpulkan data
tentang anak secara lengkap, sehingga penanganan kasus akan menjadi lebih mudah
dan terarah.
Sejalan
dengan kebijakan pemerintah tentang dilaksanakannya ujian akhir nasional (UAN)
dengan standar nilai 4,01, boleh jadi bagi sebagian siswa sangat berat. Pihak
sekolah dalam menghadapi
Salah satu
antisipasinya pihak sekolah atau guru, harus memberi perhatian khusus terhadap
perbedaan kemampuan individual siswa tersebut. Perhatian yang dimaksud yakni
dengan menyelenggarakan tes diagnostik. Jika tes itu dilaksanakan dengan
efektif dan efesien, penulis yakin permasalah perbedaan kemampan siswa akan
terselesaikan dengan baik
c. Bimbingan Belajar
Bimbingan
belajar merupakan upaya guru untuk membantu siswa yang mengalami kesulitan dalam
belajarnya. Secara umum, prosedur bimbingan belajar dapat ditempuh melalui
langkah-langkah sebagai berikut
1. Identifikasi kasus
Identifikasi
kasus merupakan upaya untuk menemukan siswa yang diduga memerlukan layanan
bimbingan belajar. Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) memberikan
beberapa pendekatan yang dapat dilakukan untuk mendeteksi siswa yang diduga
mebutuhkan layanan bimbingan belajar, yakni :
1.
Call them approach; melakukan wawancara dengan
memanggil semua siswa secara bergiliran sehingga dengan cara ini akan dapat
ditemukan siswa yang benar-benar membutuhkan layanan bimbingan.
2.
Maintain good relationship; menciptakan hubungan
yang baik, penuh keakraban sehingga tidak terjadi jurang pemisah antara guru
dengan siswa. Hal ini dapat dilaksanakan melalui berbagai cara yang tidak hanya
terbatas pada hubungan kegiatan belajar mengajar saja, misalnya melalui
kegiatan ekstra kurikuler, rekreasi dan situasi-situasi informal lainnya.
3.
Developing a desire for counseling; menciptakan
suasana yang menimbulkan ke arah penyadaran siswa akan masalah yang
dihadapinya. Misalnya dengan cara mendiskusikan dengan siswa yang bersangkutan
tentang hasil dari suatu tes, seperti tes inteligensi, tes bakat, dan hasil
pengukuran lainnya untuk dianalisis bersama serta diupayakan berbagai tindak
lanjutnya.
4.
Melakukan analisis terhadap hasil belajar siswa, dengan
cara ini bisa diketahui tingkat dan jenis kesulitan atau kegagalan belajar yang
dihadapi siswa.
5.
Melakukan analisis sosiometris, dengan cara ini dapat
ditemukan siswa yang diduga mengalami kesulitan penyesuaian sosial
2. Identifikasi Masalah
Langkah
ini merupakan upaya untuk memahami jenis, karakteristik kesulitan atau masalah
yang dihadapi siswa. Dalam konteks Proses Belajar Mengajar, permasalahan siswa
dapat berkenaan dengan aspek : (a) substansial – material; (b) struktural –
fungsional; (c) behavioral; dan atau (d) personality. Untuk mengidentifikasi
masalah siswa, Prayitno dkk. telah mengembangkan suatu instrumen untuk melacak
masalah siswa, dengan apa yang disebut Alat Ungkap Masalah (AUM). Instrumen ini
sangat membantu untuk mendeteksi lokasi kesulitan yang dihadapi siswa, seputar
aspek : (a) jasmani dan kesehatan; (b) diri pribadi; (c) hubungan sosial; (d)
ekonomi dan keuangan; (e) karier dan pekerjaan; (f) pendidikan dan pelajaran;
(g) agama, nilai dan moral; (h) hubungan muda-mudi; (i) keadaan dan hubungan
keluarga; dan (j) waktu senggang.
3. Remedial atau referal (Alih Tangan Kasus)
Jika
jenis dan sifat serta sumber permasalahannya masih berkaitan dengan sistem
pembelajaran dan masih masih berada dalam kesanggupan dan kemampuan guru atau
guru pembimbing, pemberian bantuan bimbingan dapat dilakukan oleh guru atau
guru pembimbing itu sendiri. Namun, jika permasalahannya menyangkut aspek-aspek
kepribadian yang lebih mendalam dan lebih luas maka selayaknya tugas guru atau
guru pembimbing sebatas hanya membuat rekomendasi kepada ahli yang lebih
kompeten.
4. Evaluasi dan Follow Up
Cara
manapun yang ditempuh, evaluasi atas usaha pemecahan masalah seyogyanya
dilakukan evaluasi dan tindak lanjut, untuk melihat seberapa pengaruh tindakan
bantuan (treatment) yang telah diberikan terhadap pemecahan masalah yang
dihadapi siswa.
Berkenaan
dengan evaluasi bimbingan, Depdiknas telah memberikan kriteria-kriteria
keberhasilan layanan bimbingan belajar, yaitu :
·
Berkembangnya pemahaman baru yang diperoleh
siswa berkaitan dengan masalah yang dibahas;
·
Perasaan positif sebagai dampak dari proses dan
materi yang dibawakan melalui layanan, dan
·
Rencana kegiatan yang akan dilaksanakan oleh siswa
sesudah pelaksanaan layanan dalam rangka mewujudkan upaya lebih lanjut
pengentasan masalah yang dialaminya.
Sementara
itu, Robinson dalam Abin Syamsuddin Makmun (2003) mengemukakan beberapa
kriteria dari keberhasilan dan efektivitas layanan yang telah diberikan, yaitu
apabila:
1.
Siswa telah menyadari (to be aware of) atas adanya
masalah yang dihadapi.
2.
Siswa telah memahami (self insight) permasalahan yang
dihadapi.
3.
Siswa telah mulai menunjukkan kesediaan untuk menerima
kenyataan diri dan masalahnya secara obyektif (self acceptance).
4.
Siswa telah menurun ketegangan emosinya (emotion stress
release).
5.
Siswa telah menurun penentangan terhadap lingkungannya
6.
Siswa mulai menunjukkan kemampuannya dalam
mempertimbangkan, mengadakan pilihan dan mengambil keputusan secara sehat dan
rasional.
7.
Siswa telah menunjukkan kemampuan melakukan usaha
–usaha perbaikan dan penyesuaian diri terhadap lingkungannya, sesuai dengan
dasar pertimbangan dan keputusan yang telah diambilnya
Jika
Anda ingin mengetahui lebih lanjut tentang bagaimana mekanisme penanganan siswa
bermasalah, silahkan klik tautan di bawah ini. Materi disajikan dalam bentuk
tayangan slide
d. Model Pembelajaran
Dalam
mengimplementasikan Kurikulum Berbasis Kompetensi, E. Mulyasa (2003)
mengetengahkan lima model pembelajaran yang dianggap sesuai dengan tuntutan
Kurikukum Berbasis Kompetensi; yaitu : (1) Pembelajaran Kontekstual (Contextual
Teaching Learning); (2) Bermain Peran (Role Playing); (3)
Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning); (4) Belajar
Tuntas (Mastery Learning); dan (5) Pembelajaran dengan Modul (Modular
Instruction). Sementara itu, Gulo (2005) memandang pentingnya strategi
pembelajaran inkuiri (inquiry).
Di
bawah ini akan diuraikan secara singkat dari masing-masing model pembelajaran
tersebut.
1. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Teaching Learning)
Pembelajaran
Kontekstual (Contextual Teaching Learning) atau biasa disingkat CTL
merupakan konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan nyata, sehingga peserta didik mampu
menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil belajar dalam kehidupan
sehari-hari.
Dalam
pembelajaran kontekstual, tugas guru adalah memberikan kemudahan belajar kepada
peserta didik, dengan menyediakan berbagai sarana dan sumber belajar yang
memadai. Guru bukan hanya menyampaikan materi pembelajaran yang berupa hapalan,
tetapi mengatur lingkungan dan strategi pembelajaran yang memungkinkan peserta
didik belajar.
Dengan
mengutip pemikiran Zahorik, E. Mulyasa (2003) mengemukakan lima elemen yang
harus diperhatikan dalam pembelajaran kontekstual, yaitu :
1.
Pembelajaran harus memperhatikan pengetahuan yang sudah
dimiliki oleh peserta didik
2.
Pembelajaran dimulai dari keseluruhan (global) menuju
bagian-bagiannya secara khusus (dari umum ke khusus)
3.
Pembelajaran harus ditekankan pada pemahaman, dengan
cara: (a) menyusun konsep sementara; (b) melakukan sharing untuk memperoleh
masukan dan tanggapan dari orang lain; dan (c) merevisi dan mengembangkan
konsep.
4.
Pembelajaran ditekankan pada upaya mempraktekan secara
langsung apa-apa yang dipelajari.
5.
Adanya refleksi terhadap strategi pembelajaran dan
pengembangan pengetahuan yang dipelajari.
2. Bermain Peran (Role Playing)
Bermain
peran merupakan salah satu model pembelajaran yang diarahkan pada upaya
pemecahan masalah-masalah yang berkaitan dengan hubungan antarmanusia (interpersonal
relationship), terutama yang menyangkut kehidupan peserta didik.
Pengalaman
belajar yang diperoleh dari metode ini meliputi, kemampuan kerjasama,
komunikatif, dan menginterprestasikan suatu kejadian Melalui bermain peran,
peserta didik mencoba mengeksplorasi hubungan-hubungan antarmanusia dengan cara
memperagakan dan mendiskusikannya, sehingga secara bersama-sama para peserta
didik dapat mengeksplorasi parasaan-perasaan, sikap-sikap, nilai-nilai, dan
berbagai strategi pemecahan masalah.
Dengan
mengutip dari Shaftel dan Shaftel, (E. Mulyasa, 2003) mengemukakan tahapan
pembelajaran bermain peran meliputi : (1) menghangatkan suasana dan memotivasi
peserta didik; (2) memilih peran; (3) menyusun tahap-tahap peran; (4)
menyiapkan pengamat; (5) menyiapkan pengamat; (6) tahap pemeranan; (7) diskusi
dan evaluasi tahap diskusi dan evaluasi tahap I ; (8) pemeranan ulang; dan (9)
diskusi dan evaluasi tahap II; dan (10) membagi pengalaman dan pengambilan
keputusan.
3. Pembelajaran Partisipatif (Participative Teaching and Learning)
Pembelajaran
Partisipatif (Participative Teaching and Learning) merupakan model
pembelajaran dengan melibatkan peserta didik secara aktif dalam perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pembelajaran. Dengan meminjam pemikiran Knowles,
(E.Mulyasa,2003) menyebutkan indikator pembelajaran partsipatif, yaitu : (1)
adanya keterlibatan emosional dan mental peserta didik; (2) adanya kesediaan
peserta didik untuk memberikan kontribusi dalam pencapaian tujuan; (3) dalam
kegiatan belajar terdapat hal yang menguntungkan peserta didik.
Pengembangan
pembelajaran partisipatif dilakukan dengan prosedur berikut:
1.
Menciptakan suasana yang mendorong peserta didik siap
belajar.
2.
Membantu peserta didik menyusun kelompok, agar siap
belajar dan membelajarkan
3.
Membantu peserta didik untuk mendiagnosis dan menemukan
kebutuhan belajarnya.
4.
Membantu peserta didik menyusun tujuan belajar.
5.
Membantu peserta didik merancang pola-pola pengalaman
belajar.
6.
Membantu peserta didik melakukan kegiatan belajar.
7.
Membantu peserta didik melakukan evaluasi diri terhadap
proses dan hasil belajar.
4. Belajar Tuntas (Mastery Learning)
Belajar
tuntas berasumsi bahwa di dalam kondisi yang tepat semua peserta didik mampu
belajar dengan baik, dan memperoleh hasil yang maksimal terhadap seluruh materi
yang dipelajari. Agar semua peserta didik memperoleh hasil belajar secara
maksimal, pembelajaran harus dilaksanakan dengan sistematis. Kesistematisan
akan tercermin dari strategi pembelajaran yang dilaksanakan, terutama dalam
mengorganisir tujuan dan bahan belajar, melaksanakan evaluasi dan memberikan
bimbingan terhadap peserta didik yang gagal mencapai tujuan yang telah
ditetapkan. Tujuan pembelajaran harus diorganisir secara spesifik untuk
memudahkan pengecekan hasil belajar, bahan perlu dijabarkan menjadi
satuan-satuan belajar tertentu,dan penguasaan bahan yang lengkap untuk semua
tujuan setiap satuan belajar dituntut dari para peserta didik sebelum proses
belajar melangkah pada tahap berikutnya. Evaluasi yang dilaksanakan setelah
para peserta didik menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu merupakan
dasar untuk memperoleh balikan (feedback). Tujuan utama evaluasi adalah
memperoleh informasi tentang pencapaian tujuan dan penguasaan bahan oleh
peserta didik. Hasil evaluasi digunakan untuk menentukan dimana dan dalam hal
apa para peserta didik perlu memperoleh bimbingan dalam mencapai tujuan,
sehinga seluruh peserta didik dapat mencapai tujuan ,dan menguasai bahan
belajar secara maksimal (belajar tuntas).
Strategi
belajar tuntas dapat dibedakan dari pengajaran non belajar tuntas dalam hal
berikut : (1) pelaksanaan tes secara teratur untuk memperoleh balikan terhadap
bahan yang diajarkan sebagai alat untuk mendiagnosa kemajuan (diagnostic
progress test); (2) peserta didik baru dapat melangkah pada pelajaran
berikutnya setelah ia benar-benar menguasai bahan pelajaran sebelumnya sesuai
dengan patokan yang ditentukan; dan (3) pelayanan bimbingan dan konseling
terhadap peserta didik yang gagal mencapai taraf penguasaan penuh, melalui
pengajaran remedial (pengajaran korektif).
Strategi
belajar tuntas dikembangkan oleh Bloom, meliputi tiga bagian, yaitu: (1)
mengidentifikasi pra-kondisi; (2) mengembangkan prosedur operasional dan hasil
belajar; dan (3c) implementasi dalam pembelajaran klasikal dengan memberikan
“bumbu” untuk menyesuaikan dengan kemampuan individual, yang meliputi : (1) corrective
technique yaitu semacam pengajaran remedial, yang dilakukan memberikan
pengajaran terhadap tujuan yang gagal dicapai peserta didik, dengan prosedur
dan metode yang berbeda dari sebelumnya; dan (2) memberikan tambahan waktu
kepada peserta didik yang membutuhkan (sebelum menguasai bahan secara tuntas).
Di
samping implementasi dalam pembelajaran secara klasikal, belajar tuntas banyak
diimplementasikan dalam pembelajaran individual. Sistem belajar tuntas mencapai
hasil yang optimal ketika ditunjang oleh sejumlah media, baik hardware maupun
software, termasuk penggunaan komputer (internet) untuk mengefektifkan proses
belajar.
5. Pembelajaran dengan Modul (Modular Instruction)
Modul
adalah suatu proses pembelajaran mengenai suatu satuan bahasan tertentu yang
disusun secara sistematis, operasional dan terarah untuk digunakan oleh peserta
didik, disertai dengan pedoman penggunaannya untuk para guru. Pembelajaran
dengan sistem modul memiliki karakteristik sebagai berikut:
1.
Setiap modul harus memberikan informasi dan petunjuk
pelaksanaan yang jelas tentang apa yang harus dilakukan oleh peserta didik,
bagaimana melakukan, dan sumber belajar apa yang harus digunakan.
2.
Modul meripakan pembelajaran individual, sehingga
mengupayakan untuk melibatkan sebanyak mungkin karakteristik peserta didik.
Dalam setiap modul harus : (1) memungkinkan peserta didik mengalami kemajuan
belajar sesuai dengan kemampuannya; (2) memungkinkan peserta didik mengukur
kemajuan belajar yang telah diperoleh; dan (3) memfokuskan peserta didik pada
tujuan pembelajaran yang spesifik dan dapat diukur.
3.
Pengalaman belajar dalam modul disediakan untuk
membantu peserta didik mencapai tujuan pembelajaran seefektif dan seefisien
mungkin, serta memungkinkan peserta didik untuk melakukan pembelajaran secara
aktif, tidak sekedar membaca dan mendengar tapi lebih dari itu, modul
memberikan kesempatan untuk bermain peran (role playing), simulasi dan
berdiskusi.
4.
Materi pembelajaran disajikan secara logis dan
sistematis, sehingga peserta didik dapat menngetahui kapan dia memulai dan
mengakhiri suatu modul, serta tidak menimbulkan pertanyaaan mengenai apa yang
harus dilakukan atau dipelajari.
5.
Setiap modul memiliki mekanisme untuk mengukur
pencapaian tujuan belajar peserta didik, terutama untuk memberikan umpan balik
bagi peserta didik dalam mencapai ketuntasan belajar.
Pada
umumnya pembelajaran dengan sistem modul akan melibatkan beberapa komponen,
diantaranya : (1) lembar kegiatan peserta didik; (2) lembar kerja; (3) kunci
lembar kerja; (4) lembar soal; (5) lembar jawaban dan (6) kunci jawaban.
Komponen-komponen
tersebut dikemas dalam format modul, sebagai beriku:
1.
Pendahuluan; yang berisi deskripsi umum, seperti
materi yang disajikan, pengetahuan, keterampilan dan sikap yang akan dicapai
setelah belajar, termasuk kemampuan awal yang harus dimiliki untuk mempelajari
modul tersebut.
2.
Tujuan Pembelajaran; berisi tujuan pembelajaran
khusus yang harus dicapai peserta didik, setelah mempelajari modul. Dalam
bagian ini dimuat pula tujuan terminal dan tujuan akhir, serta kondisi untuk
mencapai tujuan.
3.
Tes Awal; yang digunakan untuk menetapkan posisi
peserta didik dan mengetahui kemampuan awalnya, untuk menentukan darimana ia
harus memulai belajar, dan apakah perlu untuk mempelajari atau tidak modul
tersebut.
4.
Pengalaman Belajar; yang berisi rincian materi
untuk setiap tujuan pembelajaran khusus, diikuti dengan penilaian formatif
sebagai balikan bagi peserta didik tentang tujuan belajar yang dicapainya.
5.
Sumber Belajar; berisi tentang
sumber-sumber belajar yang dapat ditelusuri dan digunakan oleh peserta didik.
6.
Tes Akhir; instrumen yang digunakan dalam tes
akhir sama dengan yang digunakan pada tes awal, hanya lebih difokuskan pada
tujuan terminal setiap modul
Tugas
utama guru dalam pembelajaran sistem modul adalah mengorganisasikan dan
mengatur proses belajar, antara lain : (1) menyiapkan situasi pembelajaran yang
kondusif; (2) membantu peserta didik yang mengalami kesulitan dalam memahami
isi modul atau pelaksanaan tugas; (3) melaksanakan penelitian terhadap setiap
peserta didik.
6. Pembelajaran Inkuiri
Pembelajaran
inkuiri merupakan kegiatan pembelajaran yang melibatkan secara maksimal seluruh
kemampuan siswa untuk mencari dan menyelidiki sesuatu (benda, manusia atau
peristiwa) secara sistematis, kritis, logis, analitis sehingga mereka dapat
merumuskan sendiri penemuannya dengan penuh percaya diri.
Joyce
(Gulo, 2005) mengemukakan kondisi- kondisi umum yang merupakan syarat bagi
timbulnya kegiatan inkuiri bagi siswa, yaitu : (1) aspek sosial di dalam kelas
dan suasana bebas-terbuka dan permisif yang mengundang siswa berdiskusi; (2)
berfokus pada hipotesis yang perlu diuji kebenarannya; dan (3) penggunaan fakta
sebagai evidensi dan di dalam proses pembelajaran dibicarakan validitas dan
reliabilitas tentang fakta, sebagaimana lazimnya dalam pengujian hipotesis,
Proses
inkuiri dilakukan melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
1.
Merumuskan masalah; kemampuan yang dituntut
adalah : (a) kesadaran terhadap masalah; (b) melihat pentingnya masalah dan (c)
merumuskan masalah.
2.
Mengembangkan hipotesis; kemampuan yang dituntut
dalam mengembangkan hipotesis ini adalah : (a) menguji dan menggolongkan data
yang dapat diperoleh; (b) melihat dan merumuskan hubungan yang ada secara
logis; dan merumuskan
3.
Menguji jawaban tentatif; kemampuan yang
dituntut adalah : (a) merakit peristiwa, terdiri dari : mengidentifikasi
peristiwa yang dibutuhkan, mengumpulkan data, dan mengevaluasi data; (b)
menyusun data, terdiri dari : mentranslasikan data, menginterpretasikan data
dan mengkasifikasikan data.; (c) analisis data, terdiri dari : melihat
hubungan, mencatat persamaan dan perbedaan, dan mengidentifikasikan trend,
sekuensi, dan keteraturan.
4.
Menarik kesimpulan; kemampuan yang dituntut
adalah: (a) mencari pola dan makna hubungan; dan (b) merumuskan kesimpulan
5.
Menerapkan kesimpulan dan generalisasi
Guru
dalam mengembangkan sikap inkuiri di kelas mempunyai peranan sebagai konselor,
konsultan, teman yang kritis dan fasilitator. Ia harus dapat membimbing dan
merefleksikan pengalaman kelompok, serta memberi kemudahan bagi kerja kelompok.
E. Mengatasi Kesulitan Belajar
Kesulitan
belajar merupakan masalah yang cukup kompleks dan sering membuat orangtua
bingung mencari penyelesaiannya. Kesulitan belajar banyak ditemukan pada anak
usia sekolah. Pola belajar anak, memang dibentuk saat di sekolah dasar. Sesuai
dengan masanya ia mengalami perkembangan mental dan pembentukan karakternya. Di
masa kini anak tidak hanya belajar menghitung, membaca, atau menghafal
pengetahuan umum, tapi juga belajar tentang tanggung jawab, skala nilai moral,
skala nilai prioritas dalam kegiatannya.
Masalah
disiplin juga tidak kalah pentingnya. Anak-anak sejak kecil sudah harus
ditanamkan disiplin. Jika, tidak sangat menentukan perkembangan karakter anak
tersebut. Di dalam kebudayaan Bugis-Makassar ada istilah macanga-canga atau
memandang enteng persoalan. Sering menunda-nunda jadwal belajar.
Dalam
menghadapi perilaku anak seperti ini, dalalm artikel Ibu Anak disebutkan
setidaknya ada tiga hal yang harus diperhatikan. Namun, sebelum memperhatikan
hal tersebut, orangtua hendaknya tidak mudah jatuh iba sehingga mengambil alih
tugas anak. Tentu dengan tujuan meringankan agar mereka bisa mengerjakan
pekerjaan rumah misalnya.
Sekali
lagi orangtua tidak dianjurkan membantu anak dengan cara mengambil alih, tapi
bagaimana menuntun anak agar pekerjaan rumah dikerjakan sendiri dalam situasi
menyenangkan.
1.
Perhatikan Mood
Untuk mengenal mood
anak, seorang ibu harus mengenal karakter dan kebiasaan belajar anak. Apakah
anak belajar dengan senang hati atau dalam keadaan kesal. Jika belajar dalam
suasana hati yang senang, maka apa yang akan dipelajari lebih cepat ditangkap.
Bila saat belajar, ia merasa kesal, coba untuk mencari tahu penyebab munculnya
rasa kesal itu. Apakah karena pelajaran yang sulit atau karena konsentrasi yang
pecah. Nah di sini tugas orangtua untuk menyenangkan hati si anak.
2.
Siapkan Ruang Belajar
Kesulitan belajar anak
bisa juga karena tempat yang tersedia tidak memadai. Karena itu, coba sediakan
tempat belajar untuk anak. Jika kesulitan itu muncul karena tidak tersedianya
meja, maka ajaklah anak belajar di meja makan didampingi orangtuanya. Tentu
sebelum belajar meja makan harus dibersihkan lebih dahulu.
Selain itu, saat
mengajari anak ini Anda bisa melakukannya dengan menularkan cara belajar yang
baik. Misalnya bercerita kepada anak tentang bagaimana dahulu ibunya
menyelesaikan mata pelajaran yang dianggap sulit. Biasanya anak cepat larut
dengan cerita ibunya sehingga ia mencoba mencocok-cocokkan dengan apa yang
dijalaninya sekarang.
3.
Komunikasi
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Masa kecil kita, pelajaran yang disukai tergantung bagaimana cara guru itu mengajar. Tidak bisa dipungkiri perhatian terhadap mata pelajaran, tentu ada kaitan dengan cara guru mengajar di kelas.
Sempatkan juga waktu
dan dengarkan anak-anak bercerita tentang bagaimana cara guru mereka mengajar
di sekolah. Jika, anak Anda aktif maka banyak sekali cerita yang lahir termasuk
bagaimana guru kelas memperhatikan baju, ikat rambut, dan sepatunya. Khusus
soal komunikasi ini, biarkan anak-anak bercerita tentang gurunya. Sejak dini
biasakan anak berperilaku sportif dan pandai menyampaikan pendapatnya. Selamat
mencoba.
Langkah-Langkah
Tindakan Diagnosa Menurut C. Ross dan Julian Stanley, langkah-langkah
mendiagnosis kesulitan belajar ada tiga tahap, yaitu :
1.
Langkah-langkah diagnosis yang
meliputi aktifitas, berupa
a.
Identifikasi kasus
b.
Lokalisasi jenis dan sifat
kesulitan
c.
Menemukan faktor penyebab baik
secara internal maupun eksternal
2.
Langkah prognosis yaitu suatu
langkah untuk mengestimasi (mengukur),
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
memperkirakan apakah kesulitan tersebut dapat dibantu atau tidak.
3.
Langkah Terapi yaitu langkah
untuk menemukan berbagai alternatif kemungkinan cara yang dapat ditempuh dalam
rangka penyembuhan kesulitan tersebut yang kegiatannya meliputi antara lain
pengajaran remedial, transfer atau referal.
Sasaran
dari kegiatan diagnosis pada dasarnya ditujukan untuk memahami
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan. Dari ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
karakteristik dan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya kesulitan. Dari ketiga pola pendekatan di atas dapat disimpulkan bahwa langkah-langkah pokok prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar adalah sebagai berikut:
4.
Mengidentifikasi siswa yang
diperkirakan mengalami kesulitan belajar. Adapun langkah-langkah
mengidentifikasi siswa yang mengalami kesulitan belajar.
Menandai siswa dalam satu kelas
atau dalam satu kelompok yang diperkirakan mengalami kesulitan belajar baik
bersifat umum maupun khusus dalam bidang studi
Meneliti nilai ulangan yang
tercantum dalam “record academic” kemudian dibandingkan dengan nilai rata-rata
kelas atau dengan kriteria tingkat penguasaan minimal kompetensi yang dituntut.
Menganalisis hasil ulangan
dengan melihat sifat kesalahan yang dibuat.
Melakukan observasi pada saat siswa dalam
kegiatan proses belajar mengajar yaitu mengamati tingkah laku siswa dalam
mengerjakan tugas-tugas tertentu yang diberikan di dalam kelas, berusaha mengetahui
kebiasaan dan cara belajar siswa di rumah melalui check list
Mendapatkan kesan atau pendapat
dari guru lain terutama wali kelas,dan guru pembimbing.
5.
Mengalokasikan letaknya
kesulitan atau permasalahannya, dengan cara mendeteksi kesulitan belajar pada
bidang studi tertentu. Dengan membandingkan angka nilai prestasi siswa yang
bersangkutan dari bidang studi yang diikuti atau dengan angka nilai rata-rata
dari setiap bidang studi. Atau dengan melakukan analisis terhadap catatan
mengenai proses belajar. Hasil analisa empiris terhadap catatan keterlambatan
penyelesaian tugas, ketidakhadiran, kekurang aktifan dan kecenderungan
berpartisipasi dalam belajar.
6.
Melokalisasikan jenis faktor
dan sifat yang menyebabkan mengalami berbagai kesulitan.
7.
Memperkirakan alternatif
pertolongan. Menetapkan kemungkinan cara mengatasinya baik yang bersifat
mencegah (preventif) maupun penyembuhan (kuratif).
Demikianlah prosedur dan teknik diagnosa kesulitan belajar, di atas
dapat dipergunakan. Namun penerapannya dalam proses konseling bisa sangat
bervariasi, bahkan ada beberapa pakar yang mempunyai pandangan yang bertolak
belakang atau kontradiktif. Bahkan, menurut Carl Rogers, terapi atau
pertolongan yang baik tidak membutuhkan ketrampilan dan pengetahuan diagnosa.
Hal ini bertolak belakang dengan pendapat Wiliamson, Ellis, Freud, dan Thorn
yang menekankan bahwa diagnosa sebagai langkah yang perlu dipakai dalam
pendekatan konseling, termasuk konseling yang menangani kesulitan dalam
belajar. Bahkan ditekankan bahwa diagnosa merupakan bagian dari kegiatan
konselor dalam proses konseling. Seyogyanya seorang pembimbing atau konselor
perlu mengingat dan dapat bertindak bijaksana dalam mempertimbangkan kapan
sebaiknya diagnosa dipergunakan atau tidak untuk menolong siswa dalam mengatasi
kesulitan belajar.
Ada berbagai macam cara untuk mengidentifikasi siswa, di antaranya
seorang konselor dapat menggunakan check list. Di samping penggunaan check list
ini sangat efektif dan efesien terutama bila jumlah siswa banyak, check list
ini bisa berfungsi sebagai alat pengayaan (screening device) untuk
mengidentifikasi siswa yang perlu segera atau skala prioritas yang harus
ditolong.
Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
Sebab-sebab yang mungkin mengakibatkan timbulnya kesulitan belajar, dapat digolongkan menjadi tiga yaitu:
1.
Banyak sebab yang menimbulkan
pola gejala yang sama. Seringkali gejala-gejala kesulitan belajar yang nampak
pada seorang siswa disebabkan oleh faktor-faktor yang berbeda dengan yang lain
yang memperlihatkan gejala yang sama.
2.
Banyak pola gejala yang ditimbulkan
oleh sebab yang sama. Sebab yang nampak sama, dapat mengakibatkan gejala yang
berbeda-beda bagi siswa yang berlainan perlu diperhatikan adanya kesesuaian
antara sebab dengan kondisi tempat tinggal siswa.
3.
Sebab-sebab yang saling
berkaitan dengan yang lain. Kesulitan yang menimbulkan reaksi dari orang-orang
disekelilingnya atau yang menyebabkan dia bereaksi pada dirinya sendiri dengan
cara yang selanjutnya , menyebabkan timbulnya kesulitan yang baru.
Proses pemecahan kesulitan belajar pada siswa yaitu dimulai dengan
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin ditolong untuk mengatasi kesulitannya atau tidak, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu, dan dimana pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong siswa yang efektif, dan siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses konseling.
Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang intensif dan
berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal dan menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan lingkungannya.
memperkirakan kemungkinan bantuan apakah siswa tersebut masih mungkin ditolong untuk mengatasi kesulitannya atau tidak, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk mengatasi kesulitan yang dialami oleh siswa tertentu, dan dimana pertolongan itu dapat diberikan. Perlu dianalisis pula siapa yang dapat memberikan pertolongan dan bantuan, bagaimana cara menolong siswa yang efektif, dan siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses konseling.
Dalam proses pemberian bantuan, diperlukan bimbingan yang intensif dan
berkelanjutan agar siswa dapat mengembangkan diri secara optimal dan menyesuaikan diri terhadap perkembangan pribadinya dan lingkungannya.
Kemampuan yang Harus Dimiliki Konselor Berkait dengan perannya
sebagai seorang konselor, tiap individu konselor harus memiliki kemampuan yang
profesional yaitu mampu melakukan langkah-langkah
1.
Mengumpulkan data tentang siswa
2.
Mengamati tingkah laku siswa
3.
Mengenal siswa yang memerlukan
bantuan khusus
4.
Mengadakan komunukasi dengan
orang tua siswa untuk memperoleh keterangan dalam pendidikan anak.
5.
Bekerjasama dengan masyarakat
dan lembaga yang terkait untuk membantu memecahkan masalah siswa
6.
Membuat catatan pribadi siswa
7.
Menyelenggarakan bimbingan
kelompok ataupun individual
8.
Bekerjasama dengan konselor yang
lain dalam menyusun program bimbingan sekolah
9.
meneliti kemajuan siswa baik di
sekolah maupun di luar sekolah
Mengingat sedemikian pentingnya peranan dan tanggung jawab konselor,
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor yaitu, memiliki gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan mempunyai ciri-ciri dan kepribadian antara lain; dapat memahami orang lain secara objektif dan simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang lain dengan baik, memeliki kemampuan perspektif, memahami batas-batas kemampuan sendiri, mempunyai perhatian dan minat terhadap masalah pada siswa dan ada keinginan untuk membantu, dan harus memiliki sikap yang bijak dan konsisten dalam mengambil keputusan.
maka diperlukan dua persyaratan khusus bagi seorang konselor yaitu, memiliki gelar kesarjanaan dalam bidang psikologi dan mempunyai ciri-ciri dan kepribadian antara lain; dapat memahami orang lain secara objektif dan simpatik, mampu mengadakan kerjasama dengan orang lain dengan baik, memeliki kemampuan perspektif, memahami batas-batas kemampuan sendiri, mempunyai perhatian dan minat terhadap masalah pada siswa dan ada keinginan untuk membantu, dan harus memiliki sikap yang bijak dan konsisten dalam mengambil keputusan.
Dengan dimilikinya kecakapan dan persyaratan khusus seperti terurai
di atas, seorang konselor diharapkan mampu membantu mengatasi dan memecahkan
masalah kesulitan belajar yang dialami oleh siswa. Namun perlu diingat bahwa
keberhasilan suatu konseling akan bisa maksimal apabila ada keterbukaan dan
kepercayaan antara pihak klien dan konselor.
F. Kesimpulan
Kesulitan dalam pembelajaran atau
belajar merupakan suatu hal yang sering ditemui oleh para pendidik, terutama
guru. Sebagai upaya untuk memberikan terapi terhadap permasalahan kesulitan
belajar maka dapat ditempuh melalui media klinik pembelajaran.
Klinik Pembelajaran merupakan
wadah bagi guru untuk melakukan serangkaian upaya yaitu kegiatan refleksi,
penemuan masalah, pemecahan masalah melalui beragam strategi untuk meningkatkan
ketrampilan dalam mengelola pembelajaran. Strategi utama yang digunakan adalah
Penelitian Tindakan Kelas.
Karena Klinik Pembelajaran
merupakan milik bersama para guru, maka tempat ini dapat digunakan dengan bebas
untuk berdiskusi, melakukan refleksi atau merenung tentang proses pembelajaran
yang telah dijalani, bersimulasi, misalnya bagaimana cara mengajarkan suatu
konsep dengan menyenangkan, dan membuat catatan bersama-sama dengan teman
sejawat. Di Klinik Pembelajaran, para supervisor akan membantu dalam melakukan
berbagai kegiatan tersebut.
Dalam klinik pembelajaran
analisis kesulitan pembelajaran dapat dilalui dengan identifikasi kesulitan
belajar, mengadakan diagnosis kesulitan belajar, melakukan bimbingan dan
konseling belajar, dan kemudian menetapkan model pembelajaran serta mengatasi
kesulitan belajar.
G. Sumber bacaan :
Abin Syamsuddin,
(2003), Psikologi Pendidikan, Bandung : PT Remaja Rosda Karya
Prayitno dan Erman
Anti, (1995), Dasar-Dasar Bimbingan dan Konseling, Jakarta : P2LPTK
Depdikbud
Prayitno (2003), Panduan
Bimbingan dan Konseling, Jakarta : Depdikbud Direktorat Pendidikan Dasar
dan Menengah
Seri Pemandu
Pelaksanaan Bimbingan dan Konseling di Sekolah,(1995), Pelayanan Bimbingan dan
Konseling di Sekolah Menengah Umum (SMU) Buku IV, Jakarta : IPBI
Winkel, W.S. (1991),
Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan, Jakarta : Gramedia
Abu Ahmadi dan Joko Tri Prasetya. Strategi Belajar Mengajar.
Bandung : Pustaka Setia
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep;
Karakteristik dan Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
E. Mulyasa. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan
Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Udin S. Winataputra, dkk. 2003. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta : Pusat Penerbitan Universitas Terbuka
W. Gulo. 2005. Strategi Belajar Mengajar Jakarta :. Grasindo.
Maghfira Wijayanti, (2007),Alternatif Mengatasi Kesulitan Belajar, http://www.tujuhtujuhtiga.com/73/index.php?name=News&file=article&sid=50
Syarif Hidayat, (2004) Tes Diagnostik Atasi
Siswa Sulit Belajar, Suplemen Teropong, Www.pikiran -rakyat.com
[1] Dosen Jurusan
Pendidikan Ekonomi, Program Studi Manajemen Perkantoran UPI Bandung, Konsultan
Pengembangan SDM, Ditjen Manajemen Dikdasmen, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar